Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI ARGA MAKMUR
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2021/PN Agm HARMONIS TARTO Alias MONIS Bin ZULKARNAIN Pemerintah Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kepala Kepalosian Daerah Bengkulu Cq. Kepala Kepolisian Resor Bengkulu Utara Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 24 Nov. 2021
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2021/PN Agm
Tanggal Surat Rabu, 24 Nov. 2021
Nomor Surat 003/SL- PRA- PIT/XI/2021
Pemohon
NoNama
1HARMONIS TARTO Alias MONIS Bin ZULKARNAIN
Termohon
NoNama
1Pemerintah Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kepala Kepalosian Daerah Bengkulu Cq. Kepala Kepolisian Resor Bengkulu Utara
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

PERMOHONAN PRAPERADILAN
Kepada Yth,
KETUA PENGADILAN NEGERI ARGA MAKMUR
Di –
       ARGA MAKMUR.


Dengan hormat,
Kami yang bertanda tangan di bawah ini :

1.    ADV. SAMAN LATING, S.H.
2.    ADV. DEKCINI, SH

Adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum “SAMAN LATING, S.H & REKAN” yang beralamat dan berkedudukan di Jl. Sedap Malam II No 17 Kelurahan Nusa Indah Kecamatan Ratu Agung Kota Bengkulu email : samanlating27@gmail.com  HP. 0813-4422-7680. berdasarkan Surat Kuasa Khusus No.024/SK-PRA.PIT/XI/2021 tertanggal 22 November 2021 (terlampir) dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama:

Nama     :    HARMONIS TARTO Alias MONIS Bin ZULKARNAIN
Tempat Tanggal Lahir    :    Batik Nau, 06 Maret 1986
Jenis Kelamin    :    Laki-laki
Agama     :    Islam
Pekerjaan     :    Tani
Domisili Terakhir    :    Desa Durian Amparan Kec. Batik Nau Kab. Bengkulu Utara.

Untuk selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------------------- PEMOHON

PEMOHON bertindak sebagaimana tersebut di atas, dengan ini hendak mengajukan permohonan Pra Peradilan terhadap:

Negara Republik Indonesia Cq. Pemerintah Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq. Kepolisian Daerah Bengkulu beralamat di Jalan Adam Malik Km. 9 Kota Bengkulu Propinsi Bengkulu Cq. Kepolisian Resort Bengkulu Utara Alamat : Jl. Prof M Yamin No. 418 Arga Makmur.

Untuk selanjutnya disebut sebagai --------------------------------------------------TERMOHON
Bahwa ada pun dasar dan alasan diajukanya permohonan pemeriksaan Praperadilan adalah sebagaimana yang diatur dalam BAB X Bagian kesatu, Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP;

Adapun alasan-alasan diajukanya Praperadilan adalah sebagai berikut:

I.    DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

Menurut ketentuan pasal 1 angka 10 KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:
a.    sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b.    sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.    permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan praperadilan adalah sebagai berikut:
a.    Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (pasal 79 KUHAP).
b.    Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (PASAL 80 KUHAP).
c.    Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya (pasal 81 KUHAP).
Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera (pasal 78 ayat [2] KUHAP).
Acara pemeriksaan praperadilan dijelaskan dalam pasal 82 ayat (1) KUHAP yaitu sebagai berikut:
a.    dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
b.    dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik saksi dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang;
c.    pemeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;
d.    dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;
e.    putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
Bahwa dasar dan syarat tersebut diatas berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 telah memperluas wewenang dan atau objek praperadilan sampai dengan Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Upaya Paksa lainnya.

Bahwa Tindakan upaya paksa, seperti Penetapan Tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia.
Menurut ANDI HAMZAH (1986:10) Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai Tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, Praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak Tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP).
Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan Tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi Tersangka;

a.    Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

1)    Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

2)    Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

b.    Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta Perlakuan  Aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian dapat diakomodirnya mengenai Sah Tidaknya Penetapan Tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum Common Law, yang merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut MOCHTAR KUSUMAATMADJA merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

c.    Bahwa selain itu telah terdapat beberapa Putusan Pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak Tersangka, sehingga lembaga Peraperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan Tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

1)    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/PID.PRAP/2012/PN.JKT.SEL tanggal 27 november 2012;

2)    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL tanggal 15 Februari 2015;

3)    Dan lain sebagainya.

d.    Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga Peraperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan Penetapan Tersangka, seperti pada kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
[dst]
[dst]

Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

e.    Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi dan semua pihak harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan;

f.    Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/ upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik / penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang atau belum dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan praperadilan menyangkut sah tidaknya penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan yang dalam Permohonan ini menyangkut Penangkapan, Penetapan Tersangka dan Penahanan atas diri Pemohon;

g.    Bahwa tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan dan atau upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik terhadap Tersangka, benar benar dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP atau perundang-undangan lainnya;

h.    Bahwa apabila kita melihat pendapat S. TANUSUBROTO, yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga praperadilan sebenarnya memberikan peringatan:

1)    Agar penegak Hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang;

2)    Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia;

3)    Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah dalam memenuhi dan melaksanakan putusan hukum itu;

4)    Dengan rehabilitasi berarti orang itu telah dipulihkan haknya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan;

5)    Kejujuran yang menjiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi dari aparat penegak hukum, karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka;
Bahwa apa yang diuraikan di atas, yaitu lembaga praperadilan sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang guna menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia, telah dituangkan secara tegas dalam konsiderans menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP dengan sendirinya menjadi spirit atau ruh atau jiwanya KUHAP, yang berbunyi:
(a)    “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang Menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukanya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”

(b)    “Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan undang-undang dasar 1945.”

Juga ditegaskan kembali dalam penjelasaan umum KUHAP, tepatnya pada angka 2 paragraf ke -6 yang berbunyi:

i.    Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan Praperadilan, selain daripada persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan maupun ganti kerugian dan/ atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP), juga meliputi tindakan lain sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95 menyebutkan bahwa:
1)    Tersangka terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan;

2)    Tuntutan ganti kerugian oleh Tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus disidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
Dengan kata lain Pasal 95 ayat 1 dan 2 pada pokoknya merupakan tindakan penyidik atau penuntut umum dalam rangka menjalankan wewenangnya yang dilakukan tanpa alasan hukum, sehingga melanggar hak asasi atau harkat martabat kemanusiaan atau merugikan seseorang in casu adalah Pemohon. Oleh karena itu tindakan lain yang dilakukan oleh Termohon menjadi objek permohonan praperadilan.
j.    Bahwa apabila dalam peraturan perundang-undangan atau hukum acara pidana tidak mengatur adanya lembaga koreksi yang dapat ditempuh oleh seseorang, itu tidak berarti kesalahan Termohon tidak boleh dikoreksi, melainkan kesalahan tersebut harus dikoreksi melalui lembaga peradilan dalam hal ini melalui lembaga praperadilan, yang dibentuk untuk melindungi hak asasi seseorang (Tersangka) dari kesalahan / kesewenangan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini penyidik kepolisian.

k.    Tentunya, Hakim tidak dapat menolak hanya dengan alasan karena tidak ada dasar hukumnya atau tidak diatur oleh peraturan-perundang-undangan dalam hal ini, peranan Hakim untuk menemukan hukum memperoleh tempat yang seluas-luasnya . hal ini secara tegas dan jelas telah diamanatkan dalam Pasal 10 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1 undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan ke Hakiman yang berbunyi sebagai berikut:
PASAL 10 AYAT 1:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,melainkan wajib memeriksa dan menggalinya”.

PASAL 5 AYAT 1:
“Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

l.    Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan seseorang sebagai Tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam KUHAP atau perundang-undangan yang berlaku. Artinya, setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas kepastian hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedur yang harus diikuti untuk mencapai proses tersebut (penetapan Tersangka, Penangkapan dan Penahanan) tidak dipenuhi, maka sudah barang tentu proses menjadi cacat dan haruslah dikoreksi/dibatalkan;

m.    Bahwa penetapan status seseorang sebagai Tersangka in casu Pemohon, yang tidak dilakukan berdasarkan hukum/tidak sah, jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap keabsahan melalui lembaga praperadilan. Upaya penggunaan hak yang demikian itu selain sesuai dengan Spirit atau Ruh atau  Jiwa KUHAP, juga sesuai dan dijamin dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang berbunyi:

“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.

Pasal 28 D Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menentukan:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Sehingga dengan demikian secara jelas dan tegas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara.

II.    KAPASITAS HUKUM PEMOHON

Bahwa PEMOHON telah ditetapkan oleh TERMOHON sebagai Tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP. Dik / 80 / X / Res.1.24./2021/Reskrim, tanggal 23 Oktober 2021, Surat Perintah Penangkapan Nomor :  SP.Kap / 99 / XI / Res.1.24/2021/Reskrim tanggal 01 November 2021   dan Surat Perintah Penahanan Nomor:  SP.Han / 84 / XI / 2020 / Res.1.24 / 2021/ Reskrim Tanggal 2 November 2021 atas nama HARMONIS TARTO Alias MONIS Bin ZULKARNAIN, dalam perkara dugaan tindak pidana pengeroyokan dan atau penganiayaan dan atau perbuatan tidak menyenangkan,  sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) Sub. Pasal 351 Ayat (1) lebih sub pasal 335 ayat (1) KUHPidana.
1.    Bahwa berdasarkan Sprindik, dan Surat Perintah Penahanan sebagaimana tersebut di atas PEMOHON yaitu HARMONIS TARTO Alias MONIS Bin ZULKARNAIN telah di lakukan Penangkapan pada hari Senin Tanggal 1 November 2021 dan langsung diperiksa sebagai tersangka pada hari itu juga  sekitar Pukul 18.00 WIB di Ruang Sat Reskrim Polres Bengkulu Utara Jln. Prof. M. Yamin No.418 Arga Makmur dan langsung dilakukan Penahan setelah diperiksa, yang mana proses tersebut tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

III.    ALASAN PEMOHON PRAPERADILAN

A.    PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI SAKSI DAN CALON TERSANGKA.

1.    Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya,  Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,  dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan Tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;

2.    Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.

3.    “Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon Tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan Tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia)”;

4.    Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon Tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai Tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu;

5.    Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon Tersangkanya, dimana dalam perkara ini Tidak pernah dilakukan sebagai saksi dan atau Pemeriksaan Calon Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon.

6.    Dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Kepolisian Resort Bengkulu Utara.

7.    Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai Saksi dan sebagai calon Tersangka. Hal ini dibuktikan tidak pernah TERMOHON mengirimkan SURAT PANGGILAN kepada Pemohon baik sebagai Saksi dan Calon Tersangka, dan yang dikirim Oleh PEMOHON hanya UNDANGAN KLARIFIKASI setelah itu Pemohon langsung ditangkap (tanpa Surat Perintah Penangkapan), dimintai Keterangan sebagai Tersangka oleh Termohon Pada saat hari yang bersamaan Senin tanggal 1 November 2021, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon;

8.    Bahwa Surat Penangkapan tersebut baru berikan kepada Termohon pada malam hari tanggal 1 November 2021 saat pemeriksaan di  Termohon sebagai Tersangka.

9.    Bahwa pada waktu termohon menandatangani Surat Penangkapan Tersebut, Pemohon tidak mengetahui dan tidak sadar bahwa surat yang ditanda tanganinya pada saat itu adalah Surat penangkapan dikarenakan Pemohon dalam keadaan linglung dan setengan sadar karena Pengaruh Minum Keras (Tuak) pada saat termohon dibawa dari rumah ke lapak Tuak di lais tersebut.

10.    Bahwa keadaan Pemohon yang masih dipengaruhi Minum tersebut langsung diperiksa oleh Termohon sebagai Tersangka dan hal tersebut sangat bertentangan dengan HUKUM.

11.    Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka awalnya atas Laporan Pengaduan “Pengeroyokan” yang dilaporkan oleh Sdr. IRWANSYAH PUTRA Bin ALM. RUSLI HARAHAP” tanggal 12 Juni 2021 dan tiba-tiba di tangkap (tanpa membawa Surat Perintah Penangkapan, dan baru diserahkan di Polres pada saat diperiksa menjadi tersangka) berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/B/2070/X/2021/SPKT/POLRES BKL UTARA/ POLDA BENGKULU Tanggal 23 Oktober 2021 dengan dugaan tindak pidana Penganiayaan dan atau perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 ayat (1) sub pasal 351 ayat (1) lebih sub pasal 335 ayat (1) KUHPidana yang terjadi pada tanggal 12 Juni 2021.  

12.    Bahwa selama ini Pemohon dipanggil melalui Surat Undangan Klarifikasi dan  sambungan telpon Seluler terkait Pengaduan Masyarakat An. Sdr. IRWANSYAH PUTRA Bin ALM. RUSLI HARAHAP dan tidak pernah dipanggil secara resmi terkait Laporan Polisi Nomor : LP/B/2070/X/2021/SPKT/POLRES BKL UTARA/ POLDA BENGKULU Tanggal 23 Oktober 2021 yang menyebabkan PEMOHON di tetapkan Menjadi tersangka.

13.    Bahwa Setelah Undangan Klarifikasi tertanggal 8 September 2021, PEMOHON tidak Pernah di UNDANG lagi apalagi di Panggil terkait Laporan Polisi Nomor : LP/B/2070/X/2021/SPKT/POLRES BKL UTARA/ POLDA BENGKULU Tanggal 23 Oktober 2021, dan secara tiba-tiba seorang Intel dari Polres Bengkulu Utara datang ke tempat kediaman PEMOHON pada hari Senin tanggal 1 November 2021 sekitar pukul 15.00 WIB kemudian mengajak PEMOHON pergi minum minuman keras di Lapak Tuak Hingga Mabuk, setelah itu PEMOHON dibawa ke rumah AZWARI alias Ii dan pada saat PEMOHON SADAR ternyata Pemohon sudah Berada di POLRES BENGKULU UTARA dan saat itu juga ditetapkan sebagai Tersangka kemudian Dilakukan BAP dan langsung Ditahan.  

14.    Bahwa Sampai Saat ini, Pemohon masih mempertanyakan alat bukti apa yang digunakan oleh Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, dan masih mempertanyakan Proses Penangkapan yang awalnya dilakukan tanpa Surat Perintah Penangkapan, setelah sampai di Polres, di BAP sebagai tersangka barulah Termohon di Berikan Surat Perintah Penangkapan yang Saat itu tidak lagi Pemohon baca karena masih dibawah pengaruh Minuman Keras. Penangkapan yang dilakukan tidak Prosedural dan Dilakukan dengan TIPU MUSLIHAT yang secara nyata dan jelas bertentangan dengan amanat yang tertuang dalam Peraturan Perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku.  

15.    Bahwa tidak terdapat bukti-bukti yang kuat secara hukum untuk menyatakan dan menetapkan PEMOHON melakukan tindak pidana pengeroyokan dan atau penganiayaan dan atau perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) Sub. Pasal 351 Ayat (1) lebih sub pasal 335 ayat (1) KUHPidana..

16.    Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan PEMOHON sebagai Saksi dan calon Tersangka dan melakukan Penangkapan tanpa Surat Perintah Penangkapan dan dilakukan dengan Tipu Muslihat merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim tunggal yang memeriksa dan mengadili perkara a quo.

B.    TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON

1.    Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan Tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon pada tanggal 1 November 2021 saat di tangkap (tanpa membawa Surat Penangkapan) pada hari yang sama Pemohon langsung di BAP sebagai Tersangka. Bahwa apabila mengacu kepada kedua hal tersebut, tidak pernah ada Surat Panggilan untuk diperiksa dalam Laporan Polisi LP/B/2070/X/2021/SPKT/POLRES BKL UTARA/ POLDA BENGKULU Tanggal 23 Oktober 2021, Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan yang dimana dalam proses tersebut salah satu yang harus dilakukan adalah melakukan BAP terhadap Saksi dan atau calon tersangka sebelum ditetapkan jadi tersangka;

2.    Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut YAHYA HARAHAP dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum;

3.    Lebih lanjut, YAHYA HARAHAP menyatakan bahwa sebelum dilakukan tindakan penyidikan, maka dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana;

4.    YAHYA HARAHAP juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan.

5.    Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat di atas, Proses  penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan tidak dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah dilakukan Penyelidikan dan penyidikan, tidak pernah dilakukan Pemanggilan dan pemeriksaan, atas diri pemohon sebagai saksi dan calon tersangka, maka dapat dikatakan penetapan Tersangka dengan atau tanpa dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan status tersangka yang sampai hari ini juga tidak dapat ditunjukan Surat penetapan tersangkanya oleh Pemohon.

C.    TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

1.    Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP;

2.    Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Pengeroyokan dan atau Penganiayaan dan atau Perbuatan tidak menyenangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (1) sub pasal 351 ayat (1) lebih Sub pasal 335 Ayat (1) KUH Pidana sesuai dengan Laporan Polisi Nomor : LP/B/2070/X/2021/SPKT/POLRES BKL UTARA/ POLDA BENGKULU Tanggal 23 Oktober 2021, mengingat PEMOHON tidak Pernah diperiksa dan TERMOHON hanya melakukan Pemeriksaan terhadap Pelapor dan hanya berdasarkan kesaksian berberapa saksi Pelapor.

3.    Berdasar pada uraian di atas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka DAPAT DINYATAKAN TIDAK SAH DAN TIDAK BERDASAR ATAS HUKUM.

D.    PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

1.    Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti tercermin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan;
2.    Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang dimaksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu.

3.    Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut SJACHRAN BASAH “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas);

4.    Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

a.    ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b.    dibuat sesuai prosedur; dan
c.    substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.

Bahwa Sebagaimana Telah Pemohon Uraikan Diatas, Bahwa Penetapan Tersangka Pemohon Dilakukan Dengan Tidak Terpenuhinya Prosedur Menurut Ketentuan Peraturan-Perundang Undangan Yang Berlaku.

5.    Apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan a quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini, maka penetapatan tersangka dan penangkapan yang dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut:
a.    “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”.

b.    Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan

6.    Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai Tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka yang Mulia Hakim Tunggal  Pengadilan Negeri Arga Makmur yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan Tersangka terhadap diri  Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

E.    TIDAK SAHNYA PENETAPAN TERSANGKA OLEH TERMOHON

a.    PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA TIDAK DASARI SURAT PENETAPAN TERSANGKA DAN BUKTI YANG CUKUP

Bahwa perkara yang disangkakan kepada PEMOHON sehingga menjadikan Pemohon sebagai Tersangka bermula dari keterangan Pelapor dan 2 Orang  saksi-saksi, yaitu :
1.    Saksi Midarman

2.    Saksi Kasmin

•    Bahwa karena Penetapan Tersangka yang dilakukan oleh TERMOHON tidak melalui Pemanggilan dan Pemeriksaan terlebih dahulu dan tidak didasarkan alat bukti yang cukup tapi hanya berdasarkan keterangan dan pernyataan Pelapor beserta 2 orang saksi pelapor yang tidak didukung bukti-bukti hukum yang lain, serta Surat Penetapan tersangka yang tidak bisa ditunjukan oleh Termohon Kepada Pemohon, Keluarganya dan atau kuasa Hukumnya,  maka Penetapan Tersangka dan Penangkapan serta Penahanan yang dilakukan oleh TERMOHON harus dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum

•    Bahwa oleh karena penyidikan, Penangkapan dan Penahanan yang dilakukan oleh TERMOHON tidak sah dan batal demi hukum maka PENETAPAN PEMOHON sebagai TERSANGKA tanpa dasar Surat Penetapan Tersangka harus dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.
Bahwa berdasarkan alasan-alasaan tersebut di atas, PEMOHON mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Arga Makmur melalui Hakim Tunggal yang memeriksa, dan mengadili perkara ini, berkenan untuk :
PRIMAIR :
1.    Menyatakan menerima Permohonan Praperadilan PEMOHON untuk seluruhnya;

2.    Menyatakan penetapan TERSANGKA atas diri PEMOHON oleh TERMOHON adalah tidak sah menurut hukum, dan dengan segala akibat hukumnya adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan Tersangka PEMOHON Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3.    Menyatakan tindakan Penangkapan dan Penahanan atas diri PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON adalah tidak sah menurut hukum, dan oleh karenanya PEMOHON harus segera dibebaskan dari Rumah Tahanan TERMOHON.

4.    Memerintahkan kepada TERMOHON untuk menghentikan penyidikan terhadap diri PEMOHON;

5.    Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;

6.    Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Hakim Tunggal Praperadilan  Pengadilan Negeri Arga Makmur yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan

Apabila Yang Terhormat Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Arga Makmur yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 


HORMAT KAMI
KUASA HUKUM
PEMOHON PRAPERADILAN


ADV. SAMAN LATING, S.H.


ADV. DEKCINI, SH

 

Pihak Dipublikasikan Ya